
Oleh Zaky Zakariya Anshary
TANGGAL 22 Oktober setiap tahun ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional. Ini sebagai penghargaan atas kiprah para santri dan ulama dalam menjaga keutuhan bangsa, membangun peradaban Islam Indonesia, serta menanamkan nilai-nilai keikhlasan, cinta tanah air, dan pengabdian kepada umat.
Momentum Hari Santri Nasional tahun 2025 dengan tema “Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia” menjadi kesempatan penting untuk menegaskan kembali bahwa santri bukan hanya penjaga moral dan keilmuan agama, tetapi juga agen penggerak pembangunan umat di berbagai bidang. Termasuk dalam ekosistem penyelenggaraan ibadah haji dan umrah berbasis keumatan yang menjadi pilar spiritual umat Islam Indonesia.
Indonesia merupakan negara dengan jumlah jamaah haji dan umrah terbesar di dunia. Setiap tahun, jutaan umat Islam berangkat ke Tanah Suci, baik umrah melalui Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) maupun haji reguler melalui Pemerintah atau haji khusus melalui Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK).
Namun demikian, banyak masyarakat yang masih kurang mendapatkan edukasi manasik yang benar, serta minim pembinaan ruhani dan pemahaman manasik fikih haji dan umrah secara mendalam. Di sinilah pesantren, ormas Islam, Majlis Taklim dan komunitas santri dapat berperan besar dalam menjembatani kebutuhan tersebut. Karena hakikatnya haji dan umrah bukan wisata biasa seperti ke Eropa dan objek wisata lainnya tetapi sebuah perjalanan spiritual dan ibadah yang terikat dengan hukum dan manasiknya. Sehingga kalau salah atau kurang bimbingannya perjalanannya menjadi sia-sia.
Kenapa penyelenggaraan haji dan umrah yang sifatnya ekosistem berbasis keummatan perlu dijaga?
Dalam sejarah penyelenggaraan ibadah haji dan umrah versi Kemenag dijelaskan bahwa penyelenggaraan ibadah haji dan umrah sudah dimulai dari sebelum kemerdekaan contohnya tahun 1912 Muhammadiyah yang didirikan KH Ahmad Dahlan sudah mendirikan bagian Penolong Haji diantara rintisan dari direktorat urusan haji. Sebelum kemerdekaan, tercatat juga banyak terlibat dalam penyelenggaraan haji, bahkan KH Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama (NU) mengeluarkan Fatwa Haji. Oleh karena itu penyelenggaraan ibadah haji dan umrah dari jaman dulu hingga saat ini tidak lepas dengan peran umat Islam Indonesia dengan semua elemen ormas Islamnya.
Sebagai contoh, NU punya Asosiasi Bina Haji dan Umrah Nahdlatul Ulama (ASBIHU) dan NU Tour and Travel, GP Anshor punya PT Sorban, Muhammadiyah punya PT Muhammadiyah Tour (MU Tour). Di beberapa daerah juga mendirikan travel umrah melalui Amal Usaha Muhammadiyah (AUM).
Ormas Islam lainnya, baik tokoh, simpatisan maupun anggota ormas tersebut pun memiliki travel haji dan umrah. Bahkan lembaga pengelola zakat infak shadaqah (ZIS) sekelas Dompet Dhuafa juga memiliki travel DD Tour, pun dengan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) memiliki travel ICMI Tours.
Begitu pula di kalangan dai nasional, hampir semuanya memiliki travel, sebut saja misalnya Ustadz Das’ad Latif, Ustadz Khalid Basalamah, Ustadz Yusuf Mansyur dan Aa Gym serta yang lainnya. Tak terkecuali para kyai di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota banyak yang memiliki biro perjalanan haji dan umrah.
Tidak hanya itu, para pemilik travel PPIU/PIHK juga banyak yang membina dan mengelola pondok pesantren atau lembaga pendidikan Islam. Jadi penyelenggaraan ibadah haji dan umrah sangat melekat dengan ormas dan tokoh Islam. Oleh karena itu wajar jika umat Islam Indonesia ingin penyelenggaraan ibadah haji dan umrah tetap terjaga dengan baik dan ekosistem haji dan umrah berbasis keummatan tetap terjaga.
Dalam sejarah Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (UU PIHU) dari jaman dulu hingga saat ini pemerintah bergandeng dengan pihak swasta berbasis keummatan. Dimana sifatnya berprinsip mengutamakan pembinaan, pengawasan dan pemantauan dengan tujuan penyelenggaraan lancar, ibadah terbimbing dan menghindari penyelenggara nakal. Memang peran swasta di Indonesia masih sangat kecil berbanding negara negara pengirim jamaah haji dan umrah lainnya, seperti Turki 40%, Bangladesh 93%, india 50%, Pakistan 50% dan Mesir 65%.
Kementerian Haji dan Umrah
Menyikapi dinamika yang terjadi, Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI) menyambut baik dan mengapresiasi dibentuknya Kementerian Haji dan Umrah. Hal tersebut sebagai implementasi amanat hasil revisi UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaran Ibadah Haji dan Umrah yang disahkan pada 26 Agustus 2025 oleh DPR yang kemudian diundangkan pada 4 September 2025.
Presiden Prabowo Subianto pun sudah melantik Mochammad Irfan Yusuf dan Dahnil Anzar Simanjuntak sebagai Menteri dan Wakil Menteri Haji dan Umrah RI pada 8 September 2025. Dimana sebelumnya keduanya menjabat sebagai Kepala dan Wakil Kepala Badan Penyelenggara Haji yang dilantik pada 22 Oktober 2024 lalu.
Sejatinya, AMPHURI sejak Oktober 2024 terus konsisten menyuarakan ke Pemerintahan Prabowo Subianto untuk tidak ragu membentuk Kementerian Haji dan Umrah. Tentu ini akan menjadi catatan bersejarah bagi negara Indonesia untuk pertama kali dalam sejarah membentuk Kementerian Haji dan Umrah. AMPHURI mengapresiasi Presiden Prabowo Subianto yang begitu peduli dengan umat Islam.
Dan akhirnya, Presiden membentuk Kementerian Haji dan Umrah, sebab penyelenggaraan haji perlu ditangani secara serius, fokus dan integritas yang kuat sebagai landasan berkhidmat untuk ummat. Hal ini menunjukkan bahwa urusan penyelenggaraan haji menjadi perhatian khusus Presiden Prabowo terhadap umat Islam. Terlebih, Presiden pun terus mengupayakan pembangunan Kampung Haji di Mekkah, Arab Saudi. Tentu, ini memerlukan sebuah kementerian yang secara khusus dan fokus serta serius untuk menanganinya.
Umrah Mandiri di UU Nomor 14 Tahun 2025
Awalnya kami mensyukuri disahkannya revisi RUU PIHU menjadi UU PIHU yang baru oleh DPR, kemudian disusul dengan lahirnya Kementerian Haji dan Umrah sebagai amanat UU tersebut. Pada 14 Oktober 2025, AMPHURI menerima salinan UU PIHU yang baru (UU Nomor 14 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah).
Namun, seketika serasa dunia menjadi gelap bak terkena sambaran petir di siang bolong. Bagaimana tidak? Rupanya UU itu memuat banyak pasal yang kurang berpihak kepada ekosistem haji dan umrah yang berbasis keumatan. Di antaranya Pasal 86 ayat 1 huruf b yang mencantumkan legalisasi umrah mandiri, dimana dalam UU PIHU sebelumnya hanya bisa diselenggarakan melalui PPIU saja.
Selama ini, PPIU melalui UU Nomo 8 Tahun 2019 telah menjalankan amanah yang berat yang dibebankan Pemerintah, diawasi 24 jam oleh Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), diwajibkan untuk sertifikasi, akreditasi, surveillance, menyimpan bank garansi sebagai jaminan, membayar pajak badan usaha, termasuk menciptakan lapangan kerja.
Karenanya, tidak salah jika Ketua Umum Indonesia Congress and Convention Association (INCCA), Iqbal Alan Abdullah, (anggota DPR 2009-2014) mengatakan, “Konsekuensi dari legalisasi umrah mandiri itu akan sangat merugikan, baik dari sisi perlindungan jamaah maupun ekonomi domestik. Secara ekonomi, ini bisa memicu pengangguran baru karena ada sekitar 4,2 juta pekerja yang bergantung pada sektor haji dan umrah.”
Sejak UU PIHU yang baru (UU Nomor 14 Tahun 2025) beredar luas, suasana batin kalangan pelaku usaha PPIU/PIHK bergejolak, tak terkecuali asosiasi. Sejatinya, para sebagai pelaku usaha PPIU, kami tidak begitu khawatir dengan adanya umrah mandiri, sebab umrah mandiri sudah terjadi sejak lama. Hanya saja yang dikhawatirkan adanya legalisasi umrah mandiri.
Kita perlu mengantisipasi para pemain marketplace global, seandainya legalisasi umrah mandiri berlaku, maka dampaknya tidak hanya ekonomi berbasis keummatan yang hancur, negara pun akan rugi. Lantaran hilangnya potensi pendapatan TKDN (tingkat komponen dalam negeri) di sektor jasa yang selama ini selalu digaungkan pemerintah untuk ditingkatkan. Dan dapat dipastikan hal ini akan berdampak melonjaknya jumlah pengangguran, hilang pajak dan lain sebaginya.
Pertanyaannya adalah, apa artinya izin usaha yang dimiliki PPIU/PIHK? Analoginya, kenapa usaha pertambangan perlu izin? Karena jika tidak punya izin akan ditindak, begitu juga ekosistem haji dan umrah perlu izin, mestinya yang tidak berizin juga ditindak. Kalau tidak ditindak apa artinya kita perlu izin?
Boleh jadi presiden belum tahu, bagaimana ekosistem haji dan umrah berbasis keummatan terjaga selama puluhan tahun bahkan sebelum kemerdekaan. Kita bukan kelompok 9 Naga yang mengelola kekayaan Indonesia hingga ribuan triliyun. Kenapa usaha umat Islam yang tidak seberapa ini juga harus tergadaikan oleh korporasi global bernama marketplace/Online Travel Agency (OTA) yang siap masuk ke Indonesia, ini yang dikhawatirkan.
Semoga keresahan pelaku usaha didalam ekosistem haji dan umrah berbasis keumatan ini bisa di dengar oleh Presiden Prabowo. Pasalnya, sejak salinan UU Nomo 14 Tahun 2025 mulai beredar pada 14 Oktober 2025 lalu, hingga saat ini belum ada penjelasan dari Kementerian Haji dan Umrah terkait penjabarannya.
Karena itu, kita masih berbaik sangka semoga penjabarannya tidak seperti yang kita duga, tinggal Kementerian Haji Umrah atau Komisi VIII DPR menjelaskan. Pasalnya, dalam UU Nomor 14 Tahun 2025, umrah mandiri masih diikat dengan ketentuan Sistem Informasi Kementerian dan penyedia layanan.
Lantas, apa yang dimaksud dengan Sistem Informasi Kementerian? Apakah hanya pengganti Sistem Komputerisasi Pengelolaan Terpadu Umrah dan Haji Khusus (Siskopatuh) yang biasa untuk pelaporan saja atau seperti aplikasi yang pernah pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama waktu itu yang mewacanakan sistem aplikasi satu pintu pembelian paket haji dan umrah, dimana penyedia layanannya adalah PPIU/PIHK.
Kemudian terkait penyedia layanan, siapa penyedia layanan yang dimaksud? Apakah hanya PPIU/PIHK atau semua marketplace (agoda, traveloka, tiketcom, nusuk, rowa, maysan dll) bisa juga menjual ke sistem informasi kementerian atau menjual langsung ke masyarakat Indonesia? Kalau ini terjadi, maka eksistensi PPIU/PIHK wassalam. Kita tidak bisa bersaing dengan marketplace global yang strateginya bakar uang, modal besar yang bisa block hotel/tiket dengan series. Tentu ini akan menjadi berat ke depannya.
Boleh jadi, mungkin Indonesia tidak gelap, tapi ekosistem haji dan umrah berbasis keumatan Indonesia serasa gelap. Wallahua’lam. (*)
*) Zaky Zakariya Anshary, Sekretaris Jenderal DPP AMPHURI