Oleh: Bungsu Sumawijaya *)
ANTREAN jamaah haji reguler di Indonesia kian panjang. Di banyak daerah, masa tunggu keberangkatan mencapai belasan hingga puluhan tahun. Namun fenomena menarik sering terjadi: saat gilirannya tiba, banyak jamaah justru telah berada dalam kondisi ekonomi yang lebih baik dan ingin meningkatkan kualitas ibadahnya dengan layanan haji khusus.
Sayangnya, belum ada skema resmi yang memungkinkan perpindahan ini. Padahal, bila dikelola secara legal, migrasi dari haji reguler ke haji khusus dapat menjadi solusi moderat yang menguntungkan banyak pihak.
Migrasi yang dimaksud bukan jalan pintas untuk memotong antrian. Jamaah tetap harus menunggu sesuai nomor porsi reguler. Mereka baru boleh migrasi setelah masuk kuota berangkat, dan mendaftar migrasi maksimal satu tahun sebelum keberangkatan (H-1 tahun), agar tidak mengganggu sistem kloter dan logistik reguler.
Jamaah, Negara, PIHK, dan BPH Sama-Sama Diuntungkan
Pertama, jamaah akan mendapatkan keleluasaan memilih layanan yang lebih nyaman. Banyak di antara mereka sudah lansia atau memiliki keterbatasan fisik. Melalui PIHK, mereka bisa mendapatkan akomodasi dekat Masjidil Haram, transportasi premium, dan pelayanan lebih personal.
Kedua, negara melalui BPKH mendapat manfaat langsung. Tahun 2024, biaya riil haji reguler adalah Rp93 juta, sementara yang dibayar jamaah hanya Rp56 juta. Artinya, negara menanggung subsidi sekitar Rp37 juta per jamaah. Jika 10.000 jamaah bermigrasi ke haji khusus, maka negara bisa menghemat Rp370 miliar. Ini bisa dialihkan untuk meningkatkan layanan lansia atau memperkuat cadangan nilai manfaat.
Ketiga, PIHK sebagai penyelenggara resmi haji khusus akan mendapatkan tambahan jamaah dari jalur legal, bukan dari jalur visa non-kuota yang sering tidak pasti. Tahun 2024, PIHK terbukti mampu melayani lebih dari 27.000 jamaah. Penambahan 10.000 jamaah dari skema migrasi adalah hal realistis dan terukur.
Keempat, bagi penyelenggara negara, BPH, terutama di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (ArMuzNa), migrasi ini membantu mengurangi kepadatan tenda, logistik, dan transportasi. PIHK menggunakan sistem layanan tersendiri yang tidak membebani sistem haji reguler.
Regulasi dan Tahapan Teknis
Untuk tahap awal, skema ini bisa dibuka dengan kuota migrasi maksimal 10.000 jamaah per tahun. Mekanisme bisa dirancang sederhana:
Seluruh proses ini bisa dibangun secara digital dan terintegrasi dengan Siskohat dan sistem BPKH.
Migrasi haji reguler ke haji khusus bukan sekadar inovasi teknis, tetapi bentuk adaptasi terhadap realitas sosial umat. Ini bukan kemewahan, bukan pula jalan pintas, melainkan opsi legal, transparan, dan saling menguntungkan. Negara hemat subsidi, PIHK bertumbuh dalam koridor resmi, dan jamaah memperoleh kualitas ibadah yang lebih baik sesuai kemampuannya.
Sudah saatnya Indonesia punya skema haji yang lebih fleksibel, moderat, dan adil.
*) Bungsu Sumawijaya – Waketum DPP AMPHURI, Praktisi Penyelenggara Umrah & Haji Khusus