AMPHURI.ORG, JAKARTA–Musyarawarah Nasional (Munas) Majelis Ulama Indonesia (MUI) ke-10 yang akan digelar pada 25-27 November 2020 nanti salah satu agendanya adalah membahas rekomendasi dan fatwa antara lain terkait human diploid cell pada vaksin, penggunaan masker saat berihram haji dan umrah, pendaftaran haji melalui utang dan pembiayaan, dan pendaftaran haji pada usia dini. Munas sendiri merupakan permusyawaratan tertinggi organisasi yang berlaku di MUI.
Demikian disampaikan Wakil Ketua Umum MUI, Zainut Tauhid Sa’adi dalam keterangan resminya di Jakarta, Selasa (24/11/2020).
“Ada hal yang berbeda pada penyelenggaraan Munas kali ini, yakni diselenggarakan pada saat pandemi Covid 19 masih belum melandai. Untuk hal tersebut teknis penyelenggaraan dilakukan secara blanded system yaitu on line dan off line serta dilaksanakan dengan menerapkan protokol kesehatan secara ketat,” kata Zainut Tauhid yang juga menjabat sebagai Wakil Menteri Agama.
Menurutnya, selain membahas rekomendasi dan fatwa, Munas juga memiliki tugas dan wewenang menilai pertanggungjawaban pengurus MUI periode 2015-2020, menyusun Garis-garis Besar Program Kerja Nasional 2020–2025, menetapkan perubahan Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga MUI dan memilih pengurus MUI untuk masa bakti 2020–2025.
Sementara terkait agenda pemilihan Ketua Umum MUI, Zainut Tauhid menegaskan bahwa berdasarkan aspirasi dari daerah, Ketua Umum MUI diharapkan dijabat oleh seorang ulama yang memiliki kriteria, diantaranya memiliki kedalaman ilmu agama (mutafaqqih fiddin), dapat menjaga muru’ah atau harga dirinya (mutawarri’), memiliki kemampuan menggerakkan organiasi (muharrik), tertib dalam memimpin organisasi (munadzdzim), aspiratif dan diterima oleh semua kalangan serta bisa bekerja sama dengan semua pihak.
Zainut menambahkan, MUI ke depan akan terus memantapkan peran dan fungsinya dalam melaksanakan tugas amar ma’ruf nahi mungkar atau mengajak ke jalan kebaikan (ma’ruf) dan mencegah hal-hal yang dilarang oleh agama (munkar).
“Orang sering memahami tugas mulia tersebut secara keliru, seakan-akan kalau mengajak kebaikan itu dengan cara yang lemah lembut sedangkan kalau mencegah kemungkaran itu harus dengan cara yang keras dan kasar,” katanya.
Pemahaman seperi itu, kata Zainut, adalah keliru dan tidak dibenarkan menurut agama. Baik amar ma’ruf maupun nahi munkar harus dilaksanakan dengan cara-cara yang baik, santun, berakhlak mulia dan tidak melanggar hukum dan norma susila.
“Jadi amar ma’ruf nahi mungkar harus dilakukan dengan cara-cara yang ma’ruf (baik) bukan dengan cara-cara yang munkar (dilarang agama),” tegasnya.
Karena itu, lanjut Zainut, diharapkan Munas MUI ke-10 dapat merumuskan panduan etika dakwah yang dapat dijadikan panduan oleh para da’i, muballigh dan tokoh masyarakat dalam menunaikan tugas mulia. (hay)