

Oleh Ulul Albab
KETIKA Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025 hadir dengan mengakui “Umrah Mandiri” sebagai salah satu jalur penyelenggaraan ibadah umrah, banyak pihak menyambutnya dengan antusias. Sebagian melihatnya sebagai terobosan modern yang sejalan dengan semangat digitalisasi dan kemandirian umat.
Namun di sisi lain, muncul pertanyaan mendasar: apakah skema umrah mandiri benar-benar selaras dengan semangat membangun ekosistem ekonomi penyelenggaraan haji dan umrah seperti diamanatkan oleh undang-undang itu sendiri?
Ekosistem Ekonomi: Semangat yang Ingin Diperkuat
Kita perlu menengok kembali ke konsideran dan Pasal 3 huruf (c) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025. Di sana ditegaskan bahwa salah satu tujuan utama penyelenggaraan ibadah haji dan umrah adalah “mewujudkan dan mengembangkan ekosistem ekonomi ibadah haji dan ibadah umrah yang memberikan dampak terhadap perekonomian di Indonesia.”
Artinya, regulasi ini bukan hanya mengatur tata cara berangkat ke tanah suci, tetapi juga memastikan bahwa seluruh aktivitas di dalamnya membentuk satu ekosistem ekonomi nasional yang kuat dan berdaya saing global.
Ekosistem Umrah itu mencakup ribuan pelaku usaha, antara lain: biro perjalanan (PPIU), lembaga bimbingan (KBIHU), asuransi, maskapai penerbangan, perhotelan, perbankan syariah, hingga UMKM penyedia perlengkapan ibadah. Semua itu menjadi rantai ekonomi yang hidup dan
berputar, memberi manfaat bagi umat dan negara.
Kemandirian Tanpa Kelembagaan
Pertanyaannya adalah, di mana posisi umrah mandiri dalam kerangka besar itu? Jika yang dimaksud “mandiri” adalah jamaah mengurus semua keperluan sendiri (dari tiket, visa, akomodasi, hingga bimbingan) maka secara otomatis ia berjalan di luar ekosistem industri umrah nasional. Ia berhubungan langsung dengan pihak-pihak asing tanpa melibatkan lembaga resmi dalam negeri.
Dalam perspektif ekonomi, hal ini ibarat “outflow ekonomi”, dimana aliran dana umat ke luar negeri tanpa multiplier effect bagi perekonomian nasional. Tidak ada pemberdayaan agen lokal, tidak ada serapan tenaga kerja domestik, dan tidak ada siklus nilai tambah yang kembali ke masyarakat Indonesia.
Padahal, semangat undang-undang jelas ingin membangun ekosistem, bukan memecahnya.
Risiko Fragmentasi dan Disintermediasi
Kebijakan umrah mandiri juga berpotensi memunculkan fragmentasi pasar dan disintermediasi ekonomi. Selama ini, PPIU adalah lembaga yang berperan dalam tiga fungsi penting: edukasi ibadah, perlindungan hukum, dan pengawasan etika penyelenggaraan.
Dengan adanya jalur mandiri, fungsi-fungsi tersebut bisa tereduksi.
Jamaah yang tidak memahami regulasi mudah tertipu oleh iklan murah di platform digital, atau bertransaksi dengan pihak yang tidak legal.
Akibatnya, kerugian jamaah berpotensi meningkat, dan reputasi industri umrah nasional menjadi terancam.
Dalam jangka panjang, fenomena ini bisa menciptakan “pasar abu-abu” yang justru kontraproduktif terhadap visi undang-undang, yaitu: membangun ekosistem yang sehat, akuntabel, dan berkeadilan.
Mandiri yang Terintegrasi
Konsep kemandirian yang sejati bukan berarti “sendirian”. Dalam ekonomi modern, kemandirian justru diartikan sebagai kemampuan berperan aktif dalam ekosistem yang terintegrasi.
Negara-negara maju tidak menghapus lembaga perantara, tetapi justru memperkuatnya dengan sistem digital yang transparan dan akuntabel.
Dalam konteks ini, misalnya, jamaah bisa mendaftar online tetapi tetap terhubung dengan lembaga resmi yang memiliki izin, asuransi, dan rekam jejak profesional.
Inilah yang disebut integrated independent system. Sistem kemandirian yang tetap terkoneksi dengan struktur kelembagaan. Jika umrah mandiri tidak diarahkan ke sana, maka istilah “mandiri” hanya menjadi slogan yang berisiko melemahkan ekosistem ekonomi nasional.
Menyelamatkan Semangat Undang-Undang
Sebagai bagian dari masyarakat penyelenggara umrah, kami tentu tidak menolak inovasi. AMPHURI justru mendorong reformasi yang berbasis digital, efisien, dan akuntabel. Namun reformasi itu harus tetap berpijak pada asas kemaslahatan dan keberlanjutan ekonomi umat.
Pemerintah perlu memperjelas definisi operasional umrah mandiri, menyiapkan sistem pengawasan digital, dan memastikan setiap jamaah yang berangkat — meskipun mandiri — tetap menjadi bagian dari ekosistem ekonomi umrah nasional. Dengan begitu, dana, nilai tambah, dan manfaatnya tetap berputar di dalam negeri.
Kami, bahkan kita semua tentu ingin kemandirian yang berdaya, bukan kemandirian yang tercerai-berai. Kita ingin regulasi yang memerdekakan, bukan yang membiarkan umat berjalan sendiri tanpa perlindungan. (*)
*) Ulul Albab, Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan DPP AMPHURI