AMPHURI.ORG, JAKARTA–Chairman Indonesian Islamic Travel Communication Forum (IITCF), Priyadi Abadi mengatakan, boleh jadi sampai hari ini masih ada pertanyaan, kenapa harus Halal Tour? Sebuah pertanyaan yang untuk sebagian orang akan merasa kurang nyaman menyebutnya. Tapi bagi umat Islam, persoalan halal menjadi penting karena menyangkut keyakinan.
“Halal sekarang sudah menjadi tren di beberapa negara non muslim, terutama dalam bidang pelayanan pariwisatanya. Muslim traveller sudah punya banyak pilihan fasilitas yang mengakomodasi mereka, mulai dari menu makanan di restoran, fasilitas tempat ibadah dan destinasi yang muslim friendly,” kata pria yang akrab disapa Coach Priyadi ini saat menjadi pembicara dalam ajang talkshow seputar travel halal di Kompas Travel Fair 2019, yang dihelat di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan Jakarta, Sabtu (21/9/2019).
Menurutnya, bicara halal bukan bicara persoalan SARA (suku, agama, ras dan antar golongan). Tapi dalam rangka menjalankan undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. “Dalam hal ini konsumen umat Islam sebagai muslim traveller,” ujar Coach Priyadi.
Priyadi menambahkan dalam hal ini bukan hanya menjalankan UU saja, tetapi juga dalam rangka menjalankan ajaran Islam. “Karenanya umat Islam punya hak untuk menjalankan atau mendapatkan kebaikan dari sesuatu yang halal sebagai upaya memenuhi kebutuhan ruhani dan jasmani,” katanya.
Persoalan halal ini, kata Priyadi telah menjadi tren, bahkan menjadi sesuatu yang dianggap sebagai bisnis baru untuk menjaring konsumen Muslim. Muslim menjadi segmen konsumen yang pertumbuhannya sangat cepat di dunia. “Perusahaan maupun produsen harus mempertimbangkan pelayanan yang tidak hanya mengedepankan kualitas, namun juga memperhatikan jaminan halal agar tidak kehilangan kesempatan yang ada,” jelasnya.
Menurut Priyadi, merujuk pada data GMTI (Global Muslim Travel Index) 2019 disebutkan, hingga tahun 2030, jumlah wisatawan Muslim diprediksi akan tembus angka 230 juta di seluruh dunia. Sementara pertumbuhan pasar pariwisata halal Indonesia di tahun 2018 mencapai 18 persen, dengan jumlah wisatawan Muslim mancanegara yang berkunjung ke destinasi wisata halal prioritas Indonesia mencapai 2,8 juta. “Perolehan devisa mencapai lebih dari Rp 40 triliun,” tandasnya.
Lebih lanjut, kata Priyadi, jika mengacu pada target capaian 20 juta kunjungan wisatawan mancanegara yang harus diraih di tahun 2019, pemerintah dalam hal ini Kementerian Pariwisata menargetkan 25 persen atau setara 5 juta dari 20 juta wisman adalah wisatawan Muslim.
Indonesia, lanjut Priyadi, pada tahun 2019 ini berhasil menorehkan prestasi di level internasional dengan diraihnya peringkat pertama sebagai destinasi wisata halal dunia versi GMTI 2019, yang diumumkan oleh CrescentRating-Mastercard. “Prestasi ini menjadi peluang untuk meningkatkan jumlah wisatawan muslim dari mancanegara ke Indonesia,” tutur tour leader sekaligus owner dari PT Adinda Azzahra Putri ini.
Karena itu, kata Priyadi, untuk menyiapkan pariwisata halal di Nusantara, pemerintah juga mengembangkan 10 Destinasi Halal Prioritas Nasional di tahun 2018 yang mengacu standar GMTI, yakni: Aceh, Riau dan Kepulauan Riau, Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur (Malang Raya), Lombok, dan Sulawesi Selatan (Makassar dan sekitarnya).
Bahkan sebagai penguatan destinasi pariwisata halal pemerintah juga mengikutsertakan enam kabupaten dan kota yang terdapat di dalam wilayah 10 Destinasi Halal Prioritas Nasional, yaitu Kota Tanjung Pinang, Kota Pekanbaru, Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kabupaten Cianjur.
Sementara perkembangan wisata halal di mancanengara, khususnya Eropa telah berkembang destinasi yang menyajikan paket untuk memfasilitasi kebutuhan umat Islam dalam hal menu Muslim friendly (ramah Muslim). “IITCF terus berkampanye agar wisatawan Muslim mendapatkan layanan yang minimal Muslim friendly,” katanya.
Hingga saat ini, kata Priyadi, upaya yang dilakukan oleh IITCF dalam meyakinkan para vendor untuk menyediakan fasilitas yang Muslim friendly sudah membuahkan hasilnya. “IITCF berhasil meyakinkan beberapa vendor untuk menyiapkan fasilitas kebutuhan wisatawan Muslim, seperti menu di Puncak Titliis Swiss, Coklat Brown di Brussels, masakan Padang di Amsterdam, dan masih banyak lagi,” katanya.
Di samping itu, IITCF yang dibentuknya juga melakukan kunjungan ke beberapa kedutaan terkait program kampanye IITCF tentang wisata halal di Eropa dan Asia. Bahkan IITCF menebar perangkat shalat di masjid-masjid di Eropa, sebagai bentuk kepedulian dalam menyiapkan fasilitas umat Islam dalam shalat.
“Artinya, IITCF terus berupaya mengedukasi masyarakat, mulai dari wisatawan, tour leader, owner travel untuk belajar menambah wawasan akan destinasi wisata Muslim di wilayah Eropa dan Asia. Sehingga umat Islam yang berwisata ke mancanegara tidak perlu kuatir lagi dengan kebutuhan yang dianjurkan dalam ajaran Islam,” tegasnya.
Dalam kesempatan talkshow itu juga menampilkan Ketua DPD Asosiasi Perusahaan Travel Indonesia (Asita) DKI Jakarta, Hasiyanna S Ashadi dan Ketua Asosiasi Pelaku Pariwisata Indonesia (ASPPI) Jawa Barat, D Alexandrie Sagitha. (hay)