AMPHURI.ORG, JAKARTA–Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republika Indonesia (DPP AMPHURI) Joko Asmoro menyampaikan, sejauh ini AMPHURI tidak hanya sekedar berdiri sebagai organisasi pelaku usaha. Tapi, harus bisa menjadi inspirasi dan aspirasi umat seluruh elemen masyarakat Indonesia. Terlebih lagi dalam bidang penyelenggaraan haji khusus, umrah dan wisata muslim.
“Karena itu, kami hari ini hadir memenuhi undangan Komisi VIII DPR-RI untuk berdiskusi terkait penyelenggaraan haji, khususnya musim haji tahun 2020 mendatang,” kata Joko di hadapan anggota Komisi VIII DPR dalam rangka rapat dengar pendapat di gedung Parlemen Senayan, Jakarta, Senin, (2/12/2019).
Menurutnya, sebagai sebuah asosiasi yang menaungi 428 biro travel haji khusus dan umrah, AMPHURI berkewajiban untuk memberikan masukan baik kepada pemerintah maupun DPR, khususnya Komisi VIII. Terkait penyelenggaraan ibadah haji, AMPHURI sampai saat ini beranggotakan 11o biro travel penyelenggara ibadah haji khusus (PIHK). “Segenap anggota PIHK selalu siap menyukseskan hajatan besar tahunan pemerintah dalam penyelenggaraan haji,” katanya.
Terkait penyelenggaraan haji, di kesempatan tersebut, AMPHURI menyampaikan tujuh usulan kepada Komisi VIII DPR. Di antaranya; Pertama, realisasi alokasi kuota haji khusus 8% dari kuota nasional. Kedua, pengembalian Maktab 117 dan 118. Ketiga, optimalisasi sisa kuota haji khusus.
Usulan berikutnya yang keempat adalah integrasi jamaah haji visa furada/mujamalah dengan jamaah haji khusus di e-hajj. Kelima, penghapusan diskriminasi pelayanan kesehatan kepada jamaah haji khusus. Keenam, pembayaran dana ta’min (jaminan) pemondokan dan transportasi sebesar USD 19 / SAR 71,4 diambilkan dari optimalisasi dana setoran BPIH awal haji khusus yang dikelola oleh BPKH.
“Terakhir adalah, kami mengusulkan penghapusan syarat jumlah minimal jamaah yang terdaftar di Siskohat saat perpanjangan izin PIHK,” kata Joko yang didampingi Bendahara Umum DPP AMPHURI Muhammad Tauhid Hamdi dan Ketua Dewan Kehormatan AMPHURI Cheppy Wahyu Hidayat.
Joko menjelaskan, berdasarkan UU nomer 8 Tahun 2019 tentang penyelenggaraan ibadah haji dan umrah disebutkan bahwa kuota haji khusus itu sebesar 8% dari kuota nasional. Karena itu, jika merujuk pada kuota dasar haji 2019 sebanyak 221.000 orang, maka alokasi kuota haji khusus mestinya sebanyak 17.680 orang, bukan 17.000 orang.
“Artinya musim haji tahun 1441H/2020, realisasi alokasi kuota haji khusus minimal 17.680 orang. Jika ada kuota tambahan, maka haji khusus juga agar mendapat alokasi tambahan sebesar 8% dari kuota tambahan,” kata Joko.
Joko juga menyampaikan bahwa sesuai UU Nomor 8 tahun 2019, yang mengamanatkan kepada PIHK untuk menyelenggarakan haji dengan menggunakan visa furada atau mujamalah selain visa kuota. “Agar dalam pelaksanaannya tidak menyimpang, maka kami mengusulkan agar jamaah haji furada dapat dimasukkan ke dalam sistem ehajj yang ada di masing-masing PIHK,” ujarnya.
Jika disatukan, kata Joko, hal ini akan memberikan kemudahan kepada PIHK dalam memberikan pelayanan sesuai paket yang ditawarkan. Selain itu akan menghindarkan jamaah dari beban pembelian paket di sistem furada yang mahal, tapi tidak sepenuhnya dipergunakan.
Begitu pula soal pengembalian dana pelunasan BPIH haji khusus kepada PIHK yang selama ini dipotong oleh Kementerian Agama untuk pembayaran dana ta’min (jaminan) yang pada musim haji 1440H/2019 lalu sebesar USD 19 atau SAR 71,4. “Ke depannya, pembayaran dana ta’min pemondokan dan transportasi tersebut agar diambilkan dari optimalisasi dana setoran BPIH awal haji khusus yang dikelola oleh BPKH,” usulnya.
AMPHURI, kata Joko, juga mengusulkan penghapusan jumlah minimal jamaah haji khusus sebagai syarat perpanjangan PIHK. “Jumlah minimal ada 100 calon jamaah haji khusus di Siskohat saat syarat perpanjangan izin PIHK dapat dihapuskan,” ujarnya.
Turut hadir dalam RDP tersebut Ketua Bidang Umrah DPP AMPHURI Islam Saleh Alwaini dan Ketua Bidang Litbang DPP AMPHURI Sugeng Wuryanto. (hay)