AMPHURI.ORG, JAKARTA–Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama, Nizar mengatakan salah satu syarat untuk memperoleh izin Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) berdasarkan Undang- undang adalah memiliki kemampuan finansial yang dibuktikan dengan bank garansi (BG) atas nama PPIU tersebut. Namun selama ini, pemerintah baru menetapkan besaran BG bagi PPIU, masa berlaku serta bank-bank penerbitnya.
“Namun saat ini kita belum mengatur secara rinci mengenai mekanisme pencairan dan peruntukanya sehingga ini menimbulkan kesulitan dan keraguan dalam mengambil penindakan terhadap persoalan yang ada,” kata Dirjen PHU dalam sambutannya di acara Focussed Group Discussion (FGD) Bank Garansi Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) di Hotel Merlynn Park Jakarta, Selasa (19/11/2019), seperti dilansir laman resmi kemenag.go.id.
Saat ini, kata Nizar, pemerintah hampir belum pernah mencairkan BG, salah satunya disebabkan peraturan yang belum jelas tersebut. Tapi, pencairan pernah dilakukan berdasarkan perintah kepolisian untuk alasan penyitaan aset First Travel dan Interculture.
Nizar menambahkan, mengenai besaran BG yang ditetapkan sekarang ini hanya Rp 200 juta, dan itupun bisa dilakukan dengan membayar premi asuransi, sehingga mengaburkan frasa dalam undang-undang, karena dengan membayar premi sekitar 20-30 juta, PPIU sudah memperoleh BG.
“Omset BG kalau ada 1000 PPIU berarti 200 hingga 300 milyar. ini belum termasuk BG provider dan BG haji khusus. Siapa yang diuntungkan? tentunya perusahaan asuransi yg untuk saat ini di luar jangkauan Kemeng. Nah, terserah pada forum ini apakah merekomendasikan peningkatan jumlah BG atau keharusan membayar uang penuh (cash collateral),” ujarnya.
“Saya kira pihak bank yang hadir pada forum ini juga lebih memilih cash collateral karena lebih riil dan lebih mudah pencairannya apabila dibutuhkan,” imbuhnya Nizar.
Nizar berharap, FGD ini dapat menghasilkan rekomendasi yang strategis untuk memecah kebuntuan tersebut, sehingga dapat menjadi solusi dari persoalan dan kegamangan tersebut.
“Saya juga berharap agar peruntukan BG ini dapat diperjelas. Kriteria-kriteria yang menyebabkan BG harus dipertegas serta prioritas peruntukannya. Karena jumlah BG tersebut juga sangat kecil dibandingkan resiko yang timbul di lapangan,” ungkapnya.
Nizar mencontohkan, bila terjadi kegagalan keberangkatan 50 orang, lantas apa yang harus dilakukan? Untuk apa jaminan Rp 200 jt tersebut? Padahal, kata Nizar, kebutuhan untuk memberangkatkan tidak kurang dari Rp 1 milyar.
Karena itu, kata Nizar, dalam menerbitkan aturan nantinya, Kemenag juga tidak boleh memberatkan satu pihak saja juga perlu dipertimbangkan kemampuan dari para PPIU. Sehingga, dapat tercipta keseimbangan dan keharmonisan tanpa menghambat iklim usaha dan investasi. Hanya saja, perlu dipertimbangkan kemampuan
Sementara itu, Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus Arfi Hatim mengatakan BG merupakan salah satu persyaratan bagi PPIU yang akan mengantongi izin resmi dari Kemenag. BG juga merupakan jaminan bagi PPIU sebagai bentuk perusahaan yang sehat secara finansial. “Indikator perusahaan yang sehat itu adalah jaminan seperti BG tersebut,” kata Arfi.
Saat ini, kata Arfi, besaran BG untuk PPIU adalah Rp 200 juta yang rinciannya hanya untuk proses perizinan saja, maka dari itu dengan adanya forum ini diharapkan bisa memperkuat lagi regulasi Keputusan Dirjen PHU Nomor 237 Tahun 2017 tentang Penetapan Bank Garansi sebagai Persyaratan Perizinan PPIU.
“Saya berharap ada penguatan regulasi dari penetapan besaran BG ini yang tadinya untuk perizinan saja tapi juga nantinya untuk operasional penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah,” jelas Arfi.
Sehingga, sambung Arfi, jika nanti ditemukan PPIU yang melakukan peyimpangan atau wanprestasi BG tersebut bisa dicairkan. “Sehingga jika ditemukan PPIU yang wanprestasi sudah dapat tercover semuanya,” tandasnya.
Dalam FGD ini dihadiri perwakilan dari 16 Bank Penerima Setoran (BPS) PPIU. (hay)