AMPHURI.ORG, JAKARTA–Peran pariwisata Indonesia tampak makin lama makin kompleks dan gaungnya makin keras dan luas. Hal ini disampaikan oleh Myra Gunawan yang dimuat dalam kolom detik.com, berjudul Memantapkan Bangunan Kepariwisataan, pada Rabu (5/2/2020).
Dalam tulisannya, Myra memaparkan, sepanjang yang diketahui, perhatian banyak kalangan, belum pernah seheboh sekarang. Pemerintah makin kuat menggaungkan dan memerintahkan banyak kementerian lain untuk mendukung sektor pariwisata.
Berikut ini, redaksi turunkan tulisan lengkap dari Myra Gunawan, pendiri Pusat Penelitian Kepariwisataan Institut Teknologi Bandung, sekaligus staf Ahli & Deputi Menteri Kebudayaan dan Pariwisata 2000-2004.
Peran pariwisata Indonesia tampak makin lama makin kompleks dan gaungnya makin keras dan luas. sepanjang yang diketahui, perhatian banyak kalangan, belum pernah seheboh sekarang. Pemerintah makin kuat menggaungkan dan memerintahkan banyak kementerian lain untuk mendukung sektor pariwisata.
Perintah serupa juga pernah dikeluarkan tahun 2005, tapi tak terasa atau terdengar implikasinya. Yang jelas, saat ini makin besar anggaran yang dialokasikan pemerintah, baik melalui APBN maupun pinjaman Bank Dunia, terutama untuk membangun infrastruktur dan menggerakkan berbagai kementerian lain.
Namun demikian, tampaknya masih belum jelas “bangun pariwisata” yang akan diwujudkan, kecuali meminjam istilah dan jargon-jargon popular atau wajib: pariwisata berkelanjutan, berbasis masyarakat, bertanggung jawab, dan lainnya. Juga muncul pariwisata halal yang sudah menghasilkan penghargaan internasional bagi Indonesia, tetapi juga menuai pro dan kontra. Mengingat perjalanan pariwisata Indonesia, paling tidak dalam seperempat abad terakhir ini, dapat dikatakan pemerintah seperti kehilangan “sesuatu”.
Sejak awal Kemerdekaan, setelah menerima tinggalan pariwisata Indonesia rasa Belanda, kita masih terus mencari bagaimana pariwisata akan dikembangkan dan dikelola. Kemerdekaan mengajak kita mengelola sendiri pariwisata Indonesia. Belajar dari menerima warisan Belanda yang memulai, mengenalkan dan mengembangkan pariwisata di Indonesia untuk kepentingan mereka, dan menjadikan masyarakat Indonesia sebagai objek. Indonesia harus ganti haluan untuk menjadikan masyarakat Indonesia sebagai subjek pembangunan.
Tahun 1955 atau 65 tahun yang lalu, sering dijadikan tonggak kepariwisataan, saat Bandung menjadi tuan rumah Konferensi Asia Afrika. Keberhasilan mendatangkan kepala negara dari banyak negara di belahan bumi selatan ke Indonesia yang masih belia, serta keberhasilan misinya. Sarananya adalah gedung dan hotel warisan Belanda. Istilah pariwisata pun baru lahir tahun 1955, dicetuskan oleh Presiden Sukarno, menggantikan kata turisme yang dipakai sebelumnya.
Pencarian jati diri terus dilakukan. Tahun 1961 kita punya hotel internasional buatan bangsa sendiri: Hotel Indonesia yang legendaris. Kemudian beberapa hotel internasional lain: Samudra Beach di Jawa Barat, Ambarukmo di Yogyakarta, Bali Beach di Bali.
Setelah hiruk pikuk pergantian posisi selama transisi di mana pariwisata di-“rumah”-kan di Departemen Perhubungan dalam Kabinet Pembangunan IV, pemerintah mewadahinya secara tersendiri dalam satu Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi (Keppres 45/M-1983). Pemerintah sudah mulai menghitung jumlah wisatawan Nusantara pada 1981, yakin segmen ini akan terus berkembang dan butuh perhatian khusus, sehingga dibentuk satu Direktorat khusus untuk Pariwisata Nusantara.
Tahun 1991 UNDP memberikan bantuan teknis untuk menentukan arah pembangunan kepariwisataan Indonesia yang tertuang dalam Tourism Sector Programming and Policy Development, isinya menyangkut antara lain kelembagaan, sistem informasi, pemasaran dengan pariwisata Nusantara dalam laporan khusus, ketenagakerjaan, dan transportasi udara –isu utama yang dianggap penting. Diusulkan antara lain bahwa pariwisata perlu diurus dalam suatu kelembagaan tersendiri.
Kunjungan wisatawan mancanegara menunjukkan pertumbuhan dua digit dan mencapai “puncak” pada 1997 dengan 5,1 juta kunjungan. Tahun 1997, pemerintah melakukan penelitian tentang Sistem Pariwisata Nasional. Rencana Induk Pariwisata Nasional II, hasil kajian konsorsium UI-ITB-UGM pada akhir 1997, juga belum sempat dijalankan ketika krisis nasional 1998, memorak-porandakan pemikiran tentang kepariwisataan Indonesia yang terpuruk.
“Kebingungan” dalam menempatkan pariwisata terus terjadi. Pada 1998/1999 lahirlah Departemen Pariwisata Seni dan Budaya, “di samping” Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Menyongsong abad ke-21, kelembagaan yang bertanggung jawab untuk penanganan pariwisata pun dirombak lagi menjadi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, kemudian menjadi Kementerian dan Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata. Koordinasi yang semula berada di bawah Menteri Koordinator Bidang Ekonomi,pindah ke Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. Badan ini dibubarkan sebelum berakhir masa kerjanya.
Tahun 2009 terbit UU No 10-2009 di mana dicantumkan bahwa koordinasi pembangunan kepariwisataan di bawah Wakil Presiden. Bentuk kelembangaan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata ini berlangsung sampai dengan 2011, saat menterinya mendapat tugas negara lain dan ada pengangkatan menteri baru. Pergantian di tengah masa jabatan tersebut juga mengubah nomenklatur lembaga, (mungkin) disesuaikan dengan menteri yang diangkat. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata kemudian menjadi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Nomenklatur kelembagaan di pusat biasanya banyak diadopsi oleh pemerintah daerah, provinsi maupun kabupaten/kota. Dapat dibayangkan bagaimana hiruk pikuk pergantian nomenklatur ini telah memakan tenaga dan pikiran serta dampak sosial bagi para pegawai .
Pergantian pemerintahan/kabinet 2014-2019 kembali mengganti nomenklatur (posisi!) pariwisata menjadi Kementerian Pariwisata (saja), dengan empat kedeputian. Hanya berlangsung satu periode (2014-2019), sekarang sudah berganti pula menjadi Kementerian/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Akankah ini menjadi sesuatu yang final atau langgeng, atau akan berubah lagi, kita tunggu saja. Pergantian nomenklatur ini bukan sekadar gambaran dinamika administratif kepemerintahan, namun juga gambaran belum adanya kemantapan dan kepastian arah dan sikap terhadap pariwisata.
Pariwisata perlu kita posisikan dalam tatanan pembangunan jangka panjang, bagian yang tak terpisahkan. “Bangun”-nya perlu ditetapkan, peta jalannya perlu disusun dan kemudian secara bertahap dan konsisten dengan komitmen tinggi kita bersama-sama berjalan ke arah terwujudnya bangun yang kita idamkan atau sepakati itu. Bangun yang merupakan sosok pengejawantahan dari visi pembangunan jangka panjang nasional dan visi jangka panjang kepariwisataan nasional.
Akankah proses perwujudan bangunan pariwisata Indonesia akan terpengaruh oleh dinamika perubahan institusi yang belum kunjung usai? Dunia pariwisata memang akan terus berubah wujud atau wajahnya, tetapi dalam perubahan itu kita tetap harus menemukan sesuatu yang esensial, “jiwa”-nya tidak boleh berubah, sesuai dengan amanat UUD 1945.