AMPHURI.ORG, JAKARTA – Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (UU PIHU) telah disahkan pada 26 April 2019 lalu. Dalam undang-undang tersebut, terdapat cukup banyak perbedaan yang signifikan antara substansi pokok dalam undang-undang ini dengan undang-undang sebelumnya, yakni UU 13/2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.
Lantas, apa saja? Berikut 11 perbedaan pokok antara kedua undang-undang tersebut yang dilansir laman resmi Kemenag.go.id, pada Jumat (10/5/2019)
Bipih dan BPIH
Sebelumnya hanya dikenal Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH). Kini, dalam UU PIHU dikenal istilah BPIH serta Bipih atau Biaya Perjalanan Ibadah Haji yang berarti sejumlah uang yang harus dibayar oleh warga negara yang menunaikan ibadah haji.
Pelimpahan Porsi
Jamaah haji yang wafat setelah diumumkan berhak melunasi BPIH dapat dilimpahkan nomor porsinya kepada salah satu keluarga (suami, istri, anak, atau menantu). Regulasi yang diatur dalam PIHU pelimpahan nomor porsi dapat dilakukan kepada suami, istri, ayah, ibu, anak kandung, atau saudara kandung. Bahkan pelimpahan nomor porsi bukan hanya bagi jamaah yang wafat dan telah ditetapkan sebagai jamaah berhak lunas, kapan pun jamaah wafat nomor porsinya dapat dilimpahkan kepada keluarganya.
Kuota
Pembagian kuota haji regular dan haji khusus sebelumnya tidak diatur secara khusus persentasenya. Di UU PIHU persentase jamaah haji khusus secara nyata tegas disebutkan sebesar 8% dari kuota haji nasional. Serta terdapat mandat agar Menteri Agama memberikan prioritas kuota bagi jamaah haji lanjut usia dengan batasan usia paling rendah 65 tahun.
Amirul Hajj
Ketentuan terkait amirul hajj juga diatur dalam UU PIHU. Menteri Agama bertindak sebagai Amirul Hajj memimpin misi haji Indonesia dibantu oleh 12 orang anggota yang berasal dari unsur pemerintah 6 orang, dan unsur organisasi kemasyarakatan Islam sebanyak 6 orang.
Jamaah haji disabilitas
Jamaah haji disabilitas dan pendamping juga menjadi hal baru dalam UU PIHU. Jamaah haji penyandang disabilitas mendapatkan pelayanan khusus dan berhak mengisi kuota pada pelunasan tahap kedua jika masih terdapat sisa kuota.
Visa Furoda
Visa di luar Kuota Haji Indonesia yang biasa dikenal dengan visa mujammalah atau visa furada juga diatur dalam UU PIHU. Bagi warga negara yang mendapatkan undangan berhaji dari Arab Saudi wajib berangkat melalui Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) dan melaporkan kepada Kementerian Agama.
PPIH
Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) merupakan istilah lama yang tetap digunakan dalam UU PIHU. Namun PPIH yang dimaksud dalam UU PIHU memiliki kepanjangan Petugas Penyelenggara Ibadah Haji. PPIH terdiri dari PPIH Pusat, PPIH Arab Saudi, PPIH Embarkasi, dan PPIH Kloter.
Petugas Haji Daerah
Petugas Haji Daerah dulu dikenal dengan istilah Tim Pemandu Haji Daerah (TPHD). Petugas Haji Daerah terdiri atas petugas pelayanan umum, pembimbing ibadah, dan pelayanan kesehatan. Gubernur mengusulkan calon petugas haji daerah kepada Menteri Agama untuk diseleksi dan diangkat oleh Menteri.
Pengawasan
Pengawasan penyelenggaraan ibadah haji selama ini dilakukan oleh Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI). Di dalam UU PIHU selain membubarkan KPHI juga menetapkan bahwa pengawasan haji dilakukan oleh pengawas internal (inspektorat) dan pengawas eksternal (DPR RI, DPD RI, dan BPK).
KBIH
Kelompok Bimbingan dulu dikenal dengan sebutan Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH). Melalui UU PIHU dijelaskan bahwa kelompok bimbingan dapat menyelenggarakan pembimbingan untuk jamaah haji dan jamaah umrah. Bahkan disebutkan bahwa KBIHU yang memiliki jamaah paling sedikit 135 orang berhak mendapatkan satu kuota pembimbing dengan syarat telah memiliki sertifikat pembimbing ibadah haji.
Penyidikan
Penyidikan oleh Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil atas permasalahan yang menyangkut penyelenggaraan ibadah haji dan umrah juga diatur dalam UU PIHU. Dalam melaksanakan tugas penyidikan Pejabat Penyidik PNS berkoordinasi dengan penyidik Kepolisian Republik Indonesia. (*/hay)