AMPHURI.ORG, JAKARTA – Selama ini sebagai pelaku usaha Forum Silaturahmi Antar Travel Haji dan Umrah (Forum SATHU) memahami bahwa inisiatif pemerintah untuk melahirkan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja adalah sebagai upaya untuk menyederhanakan berbagai UU yang dinilai menyulitkan perkembangan dunia usaha. Karena itu dunia usaha pun merespon positif, tak terkecuali asosiasi para pengusaha penyelenggara umrah dan haji khusus yang tergabung dalam SATHU.
“Namun perlu kami sampaikan bahwa, sebagai pelaku usaha di bidang umrah dan haji khusus, kami menilai berbagai aturan yang ada baik yang termuat dalam peraturan menteri agama maupun SK-SK Dirjen kurang memberikan dukungan terhadap perkembangan usaha,” tegas Sekjen Forum SATHU, Artha Hanif dalam konperensi pers yang digelar di Jakarta, Jumat (23/10/2020).
Artha menjelaskan beberapa aturan yang selama ini kurang memberikan dukungan terhadap perkembangan usaha biro perjalanan umrah dan haji khusus diantaranya proses perizinan baru, perpanjangan izin, ketentuan deposito, akreditasi, proses pelayanna jamaah dan masih banyak lagi. Bahkan sebelumnya di dalam Rancangan UU Omnibus Law, dinilai berbagai kewenangan yang oleh UU 8/2019 tentang penyelenggaraan haji dan umrah yang menjadi kewenangan Menteri Agama ditarik menjadi kewenangan pemerintah pusat dalam hal ini Presiden.
“Prinsip ini berarti merubah fungsi ganda yang dimiliki oleh Kementerian Agama yakni sebagai regulator, operator sekaligus sebagai eksekutor. Prinsip ini selalu dan terus menjadi sorotan berbagai pihak,” katanya.
“Karena itu kami mengusulkan agar keberadaan asosiasi umrah haji secara jelas dan tegas dapat ditempatkan dalam UU Omnibus Law sebagai mitra pemerintah, agar dalam setiap penyusunan berbagai aturan oleh pemerintah nantinya akan melibatkan pula asosiasi sebagai pelaku usaha,” lanjutnya.
Namun, lanjut Artha, setelah mendalami naskah UU Omnibus Law sebagaimana yang telah disahkan oleh DPR dan diserahkan kepada Presiden untuk ditandatangani, banyak ditemui keanehan dan tendensius. “Kami menilai ada perlakuan yang tidak adil terhadap usaha di bidang keagamaan, khususnya usaha bidang penyelenggaraa umrah dan haji khusus,” ungkapnya.
Sementara Ketua Umum Kesthuri Asrul Azis Taba yang juga anggota Dewan Pembina SATHU menegaskan, perlakuan tidak adil itu diketahui dengan adanya penambahan pada pasal 94 ayat 1 butir K dan ayat 2 yang sebelumnya ini tidak termuat dalam RUU yang menjadi pokok bahasan para penyelenggara umrah dan haji khusus.
“Disamping itu banyak pula pertimbangan kami yang tidak diakomodir. Bahkan dari 23 pasal yang kami usulkan hanya 1 poin yang diakomodir,” tegasnya.
Terkait adanya pasal 94 ayat 1 butir K yang akan ditindaklanjuti ayat 2, Asrul menilai sangat berpotensi menimbulkan penampungan dana umrah dari masyarakat yang sangat besar sebagaimana juga terjadi pada dana setoran awal haji yang saat ini sudah mencapai Rp 130 triliun. “Kami menilai adanya penyusupan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu,” tandasnya.
“Pengertian pasal ini pernah juga termuat dalam SK Dirjen 323 tahun 2019 yang kami tolak lewat gugata PTUN dan gugatan kami diterima dan sudah inkrah setelah banding Kementerian Agama ditolak oleh pengadilan,” katanya.
Untuk itu, Forum SATHU meminta kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memberikan perhatian atas permasalahan ini demi terwujudnya rasa keadilan yang positif. Jika memang sebagai pertimbangan procedural tidak bisa dirubah karena sudah disahkan, maka SATHU mendesak Jokowi untuk menerbitkan Perpu sebagai perbaikan atas pasal-pasal tersebut.
Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI) yang dalam kesempatan itu diwakili Ketua Umum Firman M Nur menyampaikan AMPHURI sebagai asosiasi haji umrah mendukung penuh upaya dan langkah-langkah hukum yang akan dilakukan Forum SATHU dalam memperjuangkan rasa keadilan yang positif.
“Sedari awal memang kami menilai ada kejanggalan dalam RUU Omnibus Law, karenanya kami pun bersurat ke para pihak termasuk bersinergi dengan SATHU saat beraudiensi dengan Kemenag dan DPR, namun setelah disahkan usulan kami hanya satu yang diakomodir, “ kata Firman.
Belum lama ini, kata Firman, pihaknya menemui Ketua Komisi VIII DPR, Yandri Susanto yang memang membidangi keagamaan salah satunya adalah penyelenggaraan haji dan umrah. Dalam pertemuan itu, AMPHURI menyampaikan ada beberapa pasal yang kurang jelas alias multitafsir, sehingga nanti di Peraturan Pemerintah sebagai aturan turunannya yang dapat mengakomodir suara dari asosiasi.
Hal yang sama juga disampaikan pada saat menemui Wakil Ketua Komisi VIII, Ace Hasan Syadzily di ruang kerjanya di gedung DPR beberapa waktu lalu. “Wakil Ketua Komisi VIII, Ace Hasan Syadzily juga mengakui adanya kejanggalan yang ada di UU Omnibus Law yang telah disahkan oleh DPR, karenanya, dia minta AMPHURI bersama DPR untuk ikut mengawal dengan mengingatkan kepada Presiden agar nanti hal itu diperjelas di Peraturan Pemerintah,” kata Firman. (hay)