AMPHURI.ORG, JAKARTA–Penyelenggaraan ibadah Haji 1446 H tinggal beberapa bulan lagi, jika merujuk pada rencana yang telah disusun Kementerian Agama, 2 Mei 2025 merupakan penerbangan kelompok terbang (kloter) pertama ke tanah suci. Artinya jika menghitung dari hari ini hanya tinggal lima bulan lagi, namun sampai saat ini Komisi VIII DPR belum menyepakati dan menetapkan besaran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) serta terkait dengan berbagai persiapan teknis lainnya, termasuk besaran kuota jamaah.
“Padahal Desember 2024 hingga Januari 2025 DPR akan memasuki masa reses. Berkaca pada musim haji tahun 2024, awal November 2023 Panja Haji sudah bekerja secara maraton dan akhir November hasil kesepakatan BPIH sudah disampaikan ke Presiden,” demikian disampaikan Ketua Komnas Haji, Mustolih Siradj dalam keterangan resminya di Jakarta, Jumat (29/11/2024).
Mustolih mengkhawatirkan lantaran persiapan haji yang terlalu singkat dan mepet akan berdampak terhadap penyelenggaraan ibadah haji yang tidak maksimal, di sisi lain calon jamaah butuh segera kepastian besaran biaya yang harus dilunasi dan jadwal keberangkatan.
“Waktunya sudah mepet. Saya khawatir jika persiapan tidak maksimal penyelenggaraan haji bisa terganggu. Bagi calon jamaah bisa banyak yang tidak mampu melunasi karena minim sosialisasi dan mendadak sehingga akan banyak kuota haji yang tidak terserap,” katanya.
Menurutnya, penyelenggaraan ibadah haji memerlukan persiapan sangat matang karena menyangkut berbagai aspek teknis terlebih diselenggarakan di Arab Saudi meliputi penyiapan dokumen visa, paspor, penerbangan, aspek kesehatan, konsumsi, pemondokan, transportasi, manasik dan sebagainya. Semua aspek tersebut membutuhkan biaya oleh sebab itu harus dihitung dengan cermat yang nantinya masuk dalam komponen BPIH.
“Dimana di dalamnya juga terdapat Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) yang harus dilunasi calon jamaah dan berapa nilai manfaat dana haji yang akan disubsidi dari Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH),” ujar Mustolih.
Mustolih menambahkan, kesepakatan rapat Panja antara Komisi VIII DPR dengan Kementerian Agama (Kemenag), Badan Penyelenggara Haji (BPH) dan BPKH nanti akan diserahkan kepada Presiden untuk diterbitkan Keputusan Presiden (Keppres) sebagai payung hukum penerbitan BPIH. Keppres tersebut menjadi dasar dan payung hukum pembiayaan penyelenggaraan haji dan seberapa banyak kuota haji reguler dan haji khusus. Dimana syarat dari penetapan BPIH harus atas persetujuan DPR.
Berbagai kontrak untuk pembiayaan hotel di Mekkah, Madinah, konsumsi, transportasi, kesehatan, biaya di Masya’ir termasuk pemondokan di Arafah dan Mina harus segera dilakukan dan tidak boleh terlambat. Apabila terlambat maka risikonya lokasi jamaah haji ditempatkan jauh dari pusat-pusat zona/kawasan ring satu yang dekat dengan pusat penyelenggaraan ibadah haji seperti Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan khususnya pemondokan di Mina untuk menuju pelaksanaan ibadah di Jamarat.
“Jika tempatnya jauh, maka jamaah butuh effort yang luar biasa, terlebih bagi para lansia dan yang beresiko tinggi secara kesehatan. Pendampingan para petugas juga butuh konsentrasi lebih besar,” tandasnya.
Untuk diketahui, pemerintah Saudi menerapkan sistem first come first served. Oleh sebab itu, Menteri Haji dan Umrah Arab Saudi Tawfiq F Al Rabiah saat bertemu dengan Menteri Agama Nasaruddin Umar di Mekkah belum lama ini memberi saran agar kontrak-kontrak untuk kebutuhan jamaah Indonesia segera dilakukan, sebab jika terlambat akan diambil oleh negara lain.
“Di setiap musim haji, Indonesia dan berbagai negara dari segala penjuru dunia bersaing mendapatkan tempat strategis yang dekat dengan pusat penyelenggaraan ibadah haji,” tandas Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta ini.
Saat ini, kata Mustolih, kewenangan untuk membahas BPIH ada di tangan Komisi VIII untuk memanggil Kemenag, BPH, dan BPKH. Merujuk pada UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah yang menjadi leading sector musim haji 2025 tetap berada di tangan Kemenag, karena beleid tersebut belum direvisi. Adapun kedudukan BPH lembaga yang baru dibentuk ini jika merujuk pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 154 Tahun 2024 masih sebatas supervisi dan koordinasi.
“Dalam tata urut perundang-undangan, sudah jelas, undang-undang berada lebih tinggi dari Perpres. Karena itu Komisi VIII tidak perlu mempertentangkan kewenangan Kemenag dan BPH. Siapa yang menjadi penanggungjawab dan pelaksana sudah terang diatur dalam undang-undang,” jelasnya.
“Peran BPH menjadi leading sector penyelenggaraan haji setelah ada revisi UU Nomor 8 Tahun 2019 yang baru akan dibahas tahun depan,” imbuhnya. Pihaknya berharap, penyelenggaraan ibadah haji 2025 bisa lebih baik dari pada tahun-tahun sebelumnya. Terlebih musim ini merupakan penyelenggaraan haji pertama di pemerintahan Presiden Prabowo karena itu harus aman, nyaman dan sukses. (hay)