

Oleh: Firman Adi Candra
PELAKSANAAN ibadah haji dan umrah merupakan hak warga negara Indonesia yang beragama Islam untuk beribadah sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Penyelenggaraan ibadah haji dan umrah merupakan rangkaian ibadah keagamaan yang menjadi tanggung jawab negara dan dijamin pelaksanaannya sesuai dengan amanat Pasal 28I ayat (4) dan Pasal 29 UUD 1945.
Tanggung jawab negara untuk pemenuhan hak menunaikan ibadah haji dan umrah sebagai hak asasi manusia diwujudkan dengan memberikan pembinaan, pelayanan, dan pelindungan bagi warga negara Indonesia (WNI) agar dapat melaksanakan secara aman, nyaman, tertib dan sesuai dengan ketentuan syariat.
Ibadah haji dan umrah adalah suatu kegiatan kerohanian mengandung makna ucapan syukur, pengorbanan, dan melaksanakan perintah dari Allah SWT. Ibadah haji dan umrah merupakan hal yang baik karena diajarkan untuk menahan hawa nafsu, tenaga yang cukup besar, kesukarelaan dan keikhlas dalam menyisihkan harta, dan lain-lain.
Pada kenyataanya ibadah haji dan umrah bukan hanya terdapat di dalam hukum Islam saja, melainkan juga telah diatur melalui regulasi hukum positif yang ada di Indonesia. Proses dalam melaksanakan ibadah haji dan umrah di Indonesia juga melalui proses yang cukup panjang mulai dari pendaftaran, pemberangkatan dari tanah air, penjemputan, sampai terbang kembali ke tanah air.
Negara Indonesia dengan mayoritas penduduknya umat Islam memiliki kewajiban untuk memberikan jaminan perlindungan dan keamanan kepada masyarakatnya untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya sendiri-sendiri. Hal yang demikian itu telah tercantum di dalam Pasal 29 UUD 1945 yang berbunyi: “Negara memastikan kebebasan setiap penduduk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah berdasarkan agamanya serta keyakinannya.”
Pada hakikatnya Indonesia telah memberikan regulasi yang mengatur tentang ibadah haji dan umrah yang termuat dalam Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2019 dan sekarang dirubah menjadi UU Nomor 14 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU). Tentunya, di dalam UU tersebut sudah memuat pelaksanaan ibadah haji dan umrah, larangan-larangannya, dan bentuk-bentuk pidananya.
Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan salah satu kekuasaan kehakiman yang dapat melakukan judicial review selain dari Mahkamah Agung (MA). Lembaga peradilan MK dibentuk melalui amandemen ketiga UUD 1945. MK itu sendiri diberikan kewenangan oleh konstitusi, salah satunya yakni mengadili pada tingkat pertama dan terakhir untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945 yang putusannya bersifat final.
Kewenangan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 atau judicial review ini dapat dilakukan oleh MK jika ada pemohon atau warga negara yang hak-hak konstitusionalnya merasa dirugikan dengan adanya suatu undang-undang. Oleh sebab itu kewenangan judicial review hanya berlaku pada suatu undang-undang yang sudah disahkan dan diundangkan oleh legislatif bersama dengan eksekutif.
Pembentukan MK itu sendiri dapat dilihat dari dua segi yang berbeda, yakni dari segi politik dan segi hukum. Dari segi politik bahwa terbentuknya MK untuk mengimbangi lembaga pembentuk undang-undang dalam hal ini adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama dengan Presiden. Dari segi hukum bahwa pembentukan MK adalah sebagai penjaga supremasi konstitusi, hal ini supaya konstitusi benar-benar dapat dijalankan dan tidak dilanggar oleh ketentuan hukum yang ada di bawah konstitusi.
Hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia terdiri dari: UUD 1945, Ketetapan MPR, Undang-undang/Perppu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Artinya bahwa hierarki ini berada ditujukan untuk mengetahui kekuatan hukum dari peraturan perundang-undangan tersebut berdasarkan tata urutannya.
Undang-undang berdasarkan tata urutan tersebut, memiliki kedudukan dibawah UUD 1945 oleh karena itu pembentukan suatu undang-undang harus mengacu kepada UUD 1945. Jika undang-undang yang dimaksud bertentangan dan merugikan hak konstitusional warga negara, maka, dalam Pasal 1 angka 3 UU tentang MK disebutkan bahwa dapat diajukannya suatu permohonan secara tertulis kepada MK mengenai pengujian undang-undang terhadap UUD 1945.
Namun demikian kewenangan MK mengenai judicial review yang tertuang dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a, UU tentang MK masih terdapat celah kelemahan artinya bahwa kewenangan MK sebatas hanya menguji suatu undang-undang tidak dengan melakukan pencegahan terhadap suatu undang-undang yang inkonstitusional.
Ketatanegaraan Indonesia berkembang seiring dengan perkembangan tuntutan dalam masyarakat, di mana perwujudan sebuah negara hukum dan negara demokrasi yang berdasarkan konstitusi adalah sesuatu yang sudah tidak dapat ditunda lagi. MK lahir setelah adanya perubahan atas UUD 1945, dimana ini merupakan imbas atas perubahan sistem kekuasaan kehakiman. MK terdiri dari 9 hakim konstitusi (tiga orang usulan DPR, tiga orang usulan MA, dan tiga orang usulan Presiden).
Menguji UU terhadap UUD 1945 menjadi hal yang menarik untuk dibahas, mengingat hanya ada pembatasannya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 50 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, bahwa: “Undang-undang yang dapat di mohonkan untuk di uji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945”.
Undang-undang yang merupakan salah satu dari produk hukum yang dihasilkan oleh pembuat undang-undang seringkali bertentangan dengan UUD 1945. Artinya, undang-undang tersebut inkonstitusional dan melanggar hak konstitusional warga negara. Hal ini dibuktikan dengan adanya putusan MK mengenai pengujian UU terhadap UUD 1945 yang dimohonkan oleh para pemangku keadilan kepada MK.
Melihat dari kewenangan MK tersebut yang menguji UU terhadap UUD 1945, maka munculah berbagai persoalan dimana kewenangan judicial review ini hanya merupakan tindakan/represif bukan pencegahan/preventif. Oleh karena itu kewenangan yang dimiliki MK sekarang terbatas, karena hanya bisa melakukan judicial review terhadap UU yang sudah disahkan dan diundangkan.
Berdasarkan uraian tersebut kewenangan judicial review oleh MK hanya dapat dilakukan jika produk hukum (UU) tersebut telah disahkan dan diundangkan terlebih dahulu serta harus adanya pihak yang merasa kepentingannya dirugikan secara konstitusional. Maka dari itu, perlu adanya pembaharuan sistem mengenai hal pengujian UU dengan tujuan supaya MK dapat bertindak “aktif” sehingga tidak hanya bertindak “pasif” dalam hal melakukan judicial review.
Dengan demikian, hal ini akan meminimalisir persepsi negatif masyarakat terhadap lembaga negara tertentu dalam menjalankan tugas dan fungsinya, khususnya kepada badan legislatif bersama dengan eksekutif sebagai pembentuk UU. Adapun persoalan lain yang dihadapi oleh kewenangan MK tersebut yakni adanya kekosongan hukum setelah suatu UU diuji, lalu dibatalkannya oleh MK, permasalahan karena putusan MK itu sendiri, dan ketaatan para pihak untuk menjalankan putusan MK.
Kedudukan hukum (legal standing) adalah keadaan di mana seseorang atau suatu pihak ditentukan memenuhi syarat dan oleh karena itu mempunyai hak untuk mengajukan permohonan penelesaian perselisihan atau sengketa atau perkara di depan MK. Kedudukan hukum mencakup syarat formal sebagaimana ditentukan UU dan syarat materiil yaitu kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional.
Dalam hal ini, Pasal 51 ayat (3) UU tentang MK menyatakan bahwa “dalam permohonan sebagaimana di maksud pada ayat (2), pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa:
Dengan ketentuan ini berarti bahwa suatu UU dapat dimohonkan pengujian ke MK baik jika pembentukannya dianggap bertentangan atau tidak sesuai dengan UUD 1945 maupun jika materi muatan (ayat, pasal, atau bagian) dari UU itu dianggap bertentangan dengan UUD 1945, atau keduanya. Dengan kata lain, permohonan pengujian dapat dilakukan baik untuk pengujian formil maupun materiil, sebagaimana diuraikan dalam Pasal 57 ayat (2) UU tentang MK.
Dalam hal pengujian formil, jika pemohon berhasil membuktikan bahwa pembentukan suatu UU bertentangan dengan UUD 1945, maka berarti seluruh undang undang itu akan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sedangkan apabila pengujian itu bersifat materiil, yaitu hanya menyangkut ayat, pasal, dan/atau bagian tertentu dari UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, jika pemohon berhasil membuktikannya maka hanya ayat, pasal, dan/atau bagian tertentu dari UU itulah yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Adapun berkaitan dengan siapa yang dapat mengajukan permohonan pengujian UU terhadap UUD 1945 yang dalam praktik disebut pihak yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan pengujian UU terhadap UUD 1945, diatur dalam Pasal 51 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK.
Pasal 51 ayat (1) menyatakan: “pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
Selanjutnya, Pasal 51 ayat (2) menyatakan bahwa: “pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud pad ayat (1). Maka agar pengujian UU terhadap UUD 1945 memenuhi syarat untuk diperiksa di MK, maka seseorang atau suatu pihak dalam permohonannya harus menjelaskan:
Pertama, kualifikasinya sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi di atas, yaitu, apakah sebagai perorangan warga Negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum ataukah lembaga Negara. Kedua, hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya (dalam kualifikasi itu) yang dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang.
Hal tersebut dilakukan supaya permohonannya diterima untuk diadakan pemeriksaan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 39 UU Mahkamah Konstitusi, bahwa: ayat (1) “sebelum memulai memeriksa pokok perkra, mahkamah kosntitusi mengadakan pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan materi permohonan.
Ayat (2): “dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mahkamah Konstitusi wajib memberi nasihat kepada pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari.
Hal ini berarti, bahwa kelengkapan menjadi syarat yang harus dipenuhi untuk dapat diterima sebagai pemohon judicial review.
Pasal Frasa Umrah Mandiri Wajib Dihapus di UU Nomor 14 Tahun 2025
Frasa Umrah Mandiri Pada UU Nomor 14 Tahun 2025 ada beberapa Pasal, seperti Pasal 86 ayat (1) Perjalanan Ibadah Umrah dilakukan meluai PPIU, secara mandiri, atau melalui menteri.
Kemjudian di Pasal 87, setiap orang yang akan Ibadah Umrah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1) huruf a, harus memenuhi persyaratan:
Pada Pasal 87A, setiap orang yang akan menjalankan Ibadah Umrah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1) huruf b, harus memenuhi persyaratan:
Pasal 88, Jamaah Umrah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1) huruf a, berhak memperoleh pelayanan dari PPIU meliputi:
Pasal 88A, Jamaah Umrah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1) huruf b, berhak:
Pasal 96, Ayat (5) Jamaah Umrah dan petugas umrah pelindungan:
Pada, Ayat (6), disebutkan, PPIU bertanggung jawab memberikan pelindungan kepada Jamaah Umrah dan petugas umrah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1) sebelum keberangkatan, selama berada di Arab Saudi, dan setelah tiba di Indonesia. Dan pada Ayat (7), Pemberian pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c, dilaksanakan oleh PPIU sesuai dengan Peraturan Menteri.
Pasal 97, ayat (1) Pelindungan layanan akomodasi, konsumsi, dan transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) huruf d diberikan dalam bentuk:
Pada Ayat (2), disebutkan, Pelindungan jiwa, kecelakaan, dan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) huruf e diberikan dalam bentuk asuransi. Kemudian pada Ayat (3), Masa pertanggungan asuransi dimulai sejak keberangkatan hingga kembali ke Indonesia.
Pada Pasal 122, disebutkan bahwa: Setiap Orang yang tanpa hak bertindak sebagai PPIU mengumpulkan dan/atau memberangkatkan Jemaah Umrah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori VI.
Isu Hukum
Apakah ketentuan tentang Umrah Mandiri dalam UU Nomor 14 Tahun 2025:
Argumentasi Yuridis
Simpulan dan Saran
*) Firman Adi Candra, Ketua Bidang Hukum, Advokasi dan HKI DPP AMPHURI