

Oleh: Januar Setyadi*
BELAKANGAN, Arab Saudi meluncurkan layanan digital yang memungkinkan umat Islam dari berbagai negara mengurus umrah secara mandiri. Dari sisi Saudi, kebijakan ini mungkin dianggap efisien. Namun, jika pola serupa diterapkan di Indonesia, risiko yang ditimbulkan jauh lebih besar daripada manfaatnya.
Indonesia memiliki konteks yang berbeda dengan Saudi. Jumlah jamaah umrah kita termasuk terbesar di dunia, mayoritas berasal dari daerah dengan literasi digital dan kemampuan bahasa asing yang terbatas. Karena itu, umrah sebaiknya tetap wajib melalui travel berizin. Regulasi ini bukan sekadar birokrasi, melainkan bentuk perlindungan negara terhadap warganya.
Pertama, risiko human trafficking nyata adanya. Tidak sedikit kasus jamaah yang berangkat umrah lalu berakhir sebagai pekerja ilegal akibat overstay visa. Tanpa keterlibatan travel resmi, negara akan kesulitan menelusuri dan melindungi korban. Travel berizin adalah pagar agar ibadah tidak disusupi praktik perdagangan manusia.
Kedua, umrah bukan wisata biasa. Ia adalah ibadah yang menuntut bimbingan manasik, pengetahuan fikih, dan tata cara ritual yang sahih. Jika dilepaskan begitu saja, jamaah berpotensi kehilangan makna ibadah karena tidak mendapat layanan pendampingan. Travel resmi memastikan standar pelayanan ibadah tetap terjaga.
Ketiga, perjalanan umrah membutuhkan standar layanan internasional: asuransi, transportasi, akomodasi, hingga translator. Layanan-layanan di Saudi masih terbatas, apalagi bagi jamaah yang tidak menguasai bahasa Arab atau Inggris. Travel berizin berfungsi sebagai penghubung sekaligus pelindung ketika jamaah menghadapi kendala di lapangan.
Keempat, aspek edukasi dan sosialisasi juga penting. Tidak semua calon jamaah paham cara menggunakan platform digital internasional atau mengurus detail perjalanan. Di sinilah peran travel resmi dan asosiasi penyelenggara: memberi edukasi, bimbingan, dan rasa tenang bagi jamaah.
Karena itu, pemerintah dan DPR RI patut berhati-hati. Jangan ikut-ikutan tren umrah mandiri ala Saudi yang konteksnya sangat berbeda dengan Indonesia. Justru, regulasi harus diperkuat, pengawasan diperketat, dan travel berizin diberdayakan agar jamaah tetap terlindungi.
Pada akhirnya, ibadah umrah bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi perjalanan spiritual. Negara tidak boleh lepas tangan. Perlindungan jamaah adalah prioritas, dan travel berizin adalah instrumen penting untuk mewujudkannya. (*)
*) Praktisi Pariwisata, Ketua Bidang Pariwisata DPP AMPHURI
1 Comment
[…] Baca juga: Umrah Bukan Wisata Biasa […]