Berhaji Umrah di Masa Pandemi
Oleh Eka Yusuf Singka
AMPHURI.ORG, JAKARTA–Menunaikan ibadah haji dan umrah di masa pandemi Covid-19 seperti saat ini memang harus lebih hati-hati. Selain harus dinyatakan sehat, baik penyelenggara maupun jamaah wajib mentaati seluruh standar protokol kesehatan pencegahan Covid-19 baik sebelum keberangkatan, selama berada di Saudi maupun hingga kepulangan ke Tanah Air. Untuk lebih memahami seperti apa dan bagaimana semestinya dalam berhaji umrah di masa pandemi, berikut ini kami turunkan tulisan dari seorang pakar kesehatan, Eka Jusuf Singka, yang saat ini masih menjabat sebagai Kepala Pusat Kesehatan Haji Kementerian Kesehatan RI.
Akhir-akhir ini masyarakat sering mendengar istilah pandemi. Kata pandemi menjadi sangat popular saat terjangkitnya dan mewabahnya penyakit infeksi menular corona virus (covid-19). Covid-19 pertama kali dilaporkan di Wuhan China pada November 2019, tahun 2019 inilah yang menyebabkan istilah penyakit corona virus atau corona virus disease (covid) terdapat angka 19 di belakangnya.
Pandemi covid-19 merupakan suatu kondisi atau keadaan dimana penyakit infeksi baru ini (new-emerging disease) telah menyebar ke wilayah yang luas yaitudi seluruh benua atau di seluruh dunia. Data per-10 Nopember 2020 tercatat 50.676.072 kasus covid-19 di seluruh dunia dan di Indonesia, telah mencapai 444.384 kasus terkonfirmasi Covid-19.
Pandemi ini telah mempengaruhi berbagai aspek secara internasional dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan aktifitas keagamaan. Transmisi Covid-19 terjadi terutama melalui kontak dekat dengan orang yang terinfeksi virus melalui droplets, benda yang terkontaminasi, dan transmisi udara (aerosol). Masa inkubasi covid-19 rata-rata 5-6 hari dengan masa inkubasi terpanjang 14 hari.
Sepanjang sejarah, setidaknya beberapa pandemi penyakit telah terjadi, seperti cacar (variola), tuberkulosis dan flu spanyol. Salah satu pandemi yang paling menghancurkan adalah maut hitam (black death) yang menewaskan sekitar 75-200 juta orang pada abad ke-14.
Berbagai upaya telah dilakukan dalam rangka mencegah dan mengeliminasi penyakit yang disebabkan oleh virus SARS Cov-2 ini. Masyarakat di seluruh dunia, tidak terkecuali diminta peran aktifnya dalam mengatasi pandemi yang melanda sebagian besar belahan dunia. Pendekatan promotive-preventif (pencegahan) termasuk pembuatan vaksin dan upaya kuratif (pengobatan) di berbagai rumah sakit telah dan sedang diupayakan semaksimal mungkin.
Indonesia yang memiliki jumlah penduduk terbesar ke-4 di dunia sangat memerlukan dukungan atau peran serta masyarakatnya dalam memerangi wabah covid-19. Peran serta masyarakat dalam memutus mata rantai penyakit covid-19 dianggap memiliki kontribusi yang paling besar dalam penanganan penyakit menular ini. Karena sifatnya menular secara droplet melalui media udara, maka upaya pemutusan rantai penularan (pemutusan transmisi) menjadi salah satu strategi pengendalian covid-19.
Oleh sebab itu, istilah 3M menjadi sangat popular dalam situasi pandemi kali ini. Tiga M (3M) yang dimaksud adalah Menjaga jarak, Mencuci tangan dengan sabun (menggunakan hand sanitizer) dan Memakai masker. Selain itu, upaya isolasi mandiri (isoman), karantina,bahkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) juga merupakan penanganan strategis dan penting dalam rangka memutus mata rantai penyebaran covid-19 di tengah-tengah masyarakat tidak saja di Indonesia tetapi di dunia.
Pola, metode dan petunjuk bagaimana seharusnya berperilaku dan bertindak di masa pandemi covid-19 saat ini dikenal dengan istilah protokol kesehatan. Protokol kesehatanpada prinsipnya merupakanguidelinebagaimana mencegah terjadinya covid-19 bagi individu dan kelompok. Protokol Kesehatan pertama kali diinisiasioleh organisasi kesehatan dunia (World Health Organization). Sebagai tindaklanjutnya, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) secara cepat telah mengeluarkan beberapa pedoman bagi masyarakat bagaimana berperilaku sehat di masa terjangkitnya covid-19 yang dikenal dengan sebutan protokol kesehatan.
Salah satu protokol kesehatan yang telah disusun oleh pemerintah cq kementerian Kesehatan adalah protokol kesehatan haji-umrah dalam bentuk pedoman pencegahan dan pengendalian covid-19 bagi petugas dan jamaah haji-umrah.
Tidak bisa dipungkiri, Indonesia merupakan negara terbesar dalam mengirimkan jamaah haji dan umrahnya sepanjang sejarah. Hal ini disebabkan penduduk Indonesia yang besar dengan prosentase penduduk muslim terbesar jika dibandingkan negara muslim lainnya di dunia.
Hadirnya protokol kesehatan haji-umrah sangat dibutuhkan dan perlu disosialisasikan oleh seluruh stakeholder terkait, terutama para penyelenggara travel haji-umrah dan kelompok bimbingan ibadah haji-umrah (KBIHU) kepada seluruh umat muslim Indonesia yang akan berhaji dan berumrah.
Kita ketahui bersama, setiap tahun, setidaknya 221.000 (dua ratus dua puluh satu ribu) umat Islam Indonesia menunaikan ibadah haji dan sekitar 1.200.000 (satu juta dua ratus) warga negara Indonesia melaksanakan umrah di masa sebelum pandemi.
Namun di masa pandemi tahun ini, terdapat pembatasan jumlah jamaah haji yang dapat melakukan prosesi ibadah haji oleh pihak Saudi. Bahkan, pada 2 Juni 2020, Pemerintah Indonesia resmi membatalkan keberangkatan seluruh jamaah haji melalui Keputusan Menteri Agama (KMA) No 494 Tahun 2020.
Hal ini dilakukan demi kesehatan dan keselamatan jamaah haji. Keputusan ini telah dipertimbangan secara matang demi keselamatan dan perlindungan Warga Negara Indonesia. Keputusan pemerintah Indonesia tidak memberangkatkan jamaah haji 2020 adalah selaras dengan sikap Pemerintah Saudi yang menutup akses jamaah haji yang berasal dari luar Saudi untuk melaksanakan haji saat pandemi sedang merebak dan meningkat tajam. Penyebaran virus yang sangat cepat ini membuat Pemerintah Arab Saudi mengeluarkan kebijakan menutup dua kota suci Mekah dan Madinah.
Tidak hanya pelaksanaan haji, pelaksanaan umrah juga mengalami kendala dimana pihak Saudi menutup akses kepada umat Muslim di luar Saudi untuk ber-umrah sejak 27 Februari 2020. Penutupan akses ini merupakan upaya Saudi dalam mencegah penyebaran covid-19 yang lebih dikenal dengan istilah lock-down.
Selang 7 bulan sejak di tutupnya pelaksanaan umrah, pada 1 Nopember 2020, Pemerintah Saudi telah membuka kembali akses kepada beberapa negara muslim untuk dapat melaksanakan ibadah umrah. Pelaksanaan umrah saat ini, tentu berbeda dengan pelaksanaan umrah di masa non-pandemi. Pada masa pandemi, jamaah umrah dibatasi usianya, hanya yang memiliki usia 18-50 tahun yang dapat memperoleh visa umrah, dan hanya mereka yang memiliki hasil Swab PCR covid-19 dengan hasil negatif yang dapat melanjutkan penerbangan ke Saudi. Pelaksanaan umrah pada masa pandemi merupakan rangkaian ibadah umrah yang diatur melalui protokol kesehatan.
Pihak Saudi memiliki komitmen yang kuat dalam penerapan protokol kesehatan yang ketat terhadap Jemaah umrah. Pelaksanaan thawafdan saidiatur secara tertib, jamaah tetap menjaga jarak, sering mencuci tangan dengan menggunakan sabun dengan air mengalir, serta menggunakan masker. Penggunaan masker sangat bermanfaat dalam mencegah transmisi penyakit menular, oleh sebab itu, penggunaan masker sudah sewajarnya diperbolehkan dalam prosesi ibadah haji-umrah terutama saat berihram.
Walaupun penyelenggaraan umrah dijalankan dengan sistem P (private) to P (private), artinya kerjasama bisnis antara perusahaan swasta (travel), Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) di Indonesia dan pihak Muasasah di Arab Saudi, namun dalam situasi pandemi covid-19, manajemen penyelenggaraannya perlu diatur dan diperkuat oleh pemerintah. Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia, telah menerbitkan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 719 Tahun 2020 tentang Pedoman penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah pada masa pandemi corona virus disease 2019.
Dalam KMA tersebut, pada persyaratan Jemaah disebutkan bahwa jamaah dapat diberangkatkan setelah memenuhi persyaratan yaitu: usia sesuai ketentuan pemerintah Arab Saudi, tidak memiliki penyakit penyerta (co-morbid), menandatangani surat pernyataan tidak akan menuntut pihak lain atas risiko yang timbul akibat covid-19 dan adanya bukti bebas covid-19 yang dibuktikan dengan asli hasil Polimerase Chain Reaction/swab test yang dikeluarkan oleh rumah sakit atau laboratorium yang sudah terverifikasi oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
Persyaratan mengenai tidak memiliki penyakit penyerta (co-morbid), wajib memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan. Maksud dari ketentuan tersebut adalah, jamaah yang hendak melaksanakan umrah sebaiknya tidak memiliki penyakit co-morbid yang dapat memperberat/memperparah kondisi sakitnya jika terinfeksi virus SAR cov-2. Penyakit yang dapat memperberat kondisi jamaah jika terinfeksi virus dikenal dengan istilah co-morbid.
Contoh penyakit co-morbid antara lain adalah hipertensi berat, jantung stadium lanjut, gangguan ginjal kronis terutama dengan hemodialis dan diabetes melitus tidak stabil, penyakit paru obtruksi menahun, serta penyakit degeneratif berat lainnya.
Pandemi covid-19 telah memaksakan adanya perubahan perilaku dalam mengerjakan prosesi ibadah haji-umrah yaitu melalui penerapan protokol kesehatan. Protokol kesehatan dalam berhaji-umrah harus dilaksanakan di setiap tahapan dan tempat pelaksanaan, mulai dari Indonesia, di Saudi dan saat kembali ke Tanah Air.
Dalam situasi pandemi, jamaah haji-umrah wajib mengetahui dan mengenal gejala dan upaya pencegahan covid-19. Manajemen haji-umrah di masa pandemi tidak bisa dilepaskan dengan sistem laboratorium pemeriksaan PCR dan juga sistem pemberian vaksinasi covid-19 jika vaksinasi sudah tersedia. (*)
*Kepala Pusat Kesehatan Haji Kementerian Kesehatan Republik Indonesia